D Kemalawati
terjepit di antara rumah kayu
rumah batu terkelupas dan rapuh
sarang labalaba di gerobok tua menyeruak
ketika pintu tanpa kunci itu dibuka
kuali-kuali besi telungkup di atas tungku
tanpa abu api biru berlalu
berhenti disitu,
palang kayu hitam dipasang menyilang
menghalang langkah ke dalam
“lewat samping saja,” lelaki penjaga warung menunjuk jalan
di atas jembatan kayu, tua, dan berlubang
kami berpegangan
kami berpegangan
menyeberang hijau kolam
menuju halaman
berdiri di gapura memandang ekor naga di kiri kanannya
berdiri di gapura memandang ekor naga di kiri kanannya
pandangku menjauh ke tepi Batanghari
siapakah yang melempar sauh
menggulung permadani merah melangkah gagah
menggulung permadani merah melangkah gagah
membiak rumpun bambu di lembar sutra
“Datuk kami keturunan saidina,”
terngiang juga cerita ibunda tentang leluhurnya
lelaki penunjuk jalan
menunjukkan silsilah pemilik rumah batu, leluhurnya
karena waktu aku tak menyimaknya
“Silakan mengcopynya jika perlu.”
aku menangkap inginnya sebelum berlalu
Batanghari, 23 Maret 2011