Selasa, 29 Maret 2011

Rumah Batu Olakemang

D Kemalawati


terjepit di antara rumah kayu
rumah batu terkelupas dan rapuh
sarang labalaba di gerobok tua menyeruak
ketika pintu tanpa kunci itu dibuka
kuali-kuali besi telungkup di atas tungku
tanpa abu api biru berlalu

berhenti disitu,
palang kayu hitam dipasang menyilang
menghalang langkah ke dalam

“lewat samping saja,”  lelaki penjaga warung menunjuk jalan
di atas jembatan kayu, tua, dan berlubang
kami berpegangan
menyeberang hijau kolam
menuju halaman

berdiri di gapura memandang  ekor naga di kiri kanannya
pandangku menjauh ke tepi Batanghari
siapakah yang melempar sauh
menggulung permadani merah melangkah gagah 
membiak rumpun bambu di lembar sutra

“Datuk kami keturunan saidina,”
terngiang juga cerita ibunda tentang leluhurnya

lelaki penunjuk jalan
menunjukkan silsilah pemilik rumah batu, leluhurnya
karena waktu aku tak menyimaknya
“Silakan mengcopynya jika perlu.”
aku menangkap inginnya sebelum berlalu

Batanghari, 23 Maret 2011

Purnama di Gamalama


D Kemalawati

setelah purnama mendekat 
apa yang kutunggu
selain merapat dan berbaring tenang
dalam selimut cintamu
kuharap bila 40 tahun lagi
purnama itu kembali
aku tetap seputih kenari
dalam dekapmu

Ternate, 20 Maret 2011

Kamis, 10 Maret 2011

MENIMANG CUCU

Kepada Arsyad Indradi

D Kemalawati
 
Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata 
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama menghidu wanginya
sebelum kau timang dia

Banda Aceh, 10 Maret 2010

Rabu, 09 Maret 2011

BAGAIMANA AKU MENCUKUPKAN MENULIS BAGAIMANA



D Kemalawati

bagaimana mungkin aku melupakan pagi bening di kolam itu
sedang desirnya masih membelai kulitku
memberi rasa hangat serupa air laut
membasahi pasir pantai tak pernah usai

bagaimana pula aku melupakan air bening yang menggelegak
di tunggu dengan nyala dan percik bunga api dari dahan kering
yang kita kumpulkan dari sampah laut
saat letupnya di permukaan yang serupa riang gelombang
menghantar kita terdampar dalam kegerahan

bagaimana aku harus mematahkan ujung pelangi pada kaki langit
menjemurnya sebelum senja agar menyala api unggun di matamu
memudarkan cahaya bulan yang mengendap di sela daun malam
sedang kau makin enggan membersihkan bunga karang dalam dadamu

bagaimana jika bunga karang yang kau lukis itu meracuni kaki telanjangku
sementara sirip ikan yang kau pasang di tubuhku tak mampu membawaku
ke permukaan menjemput sinar terang dan nafas panjang

bagaimana aku mengaitkan pulau yang lepas dari genggaman kita
saat aku menunjuk arah dan kau memalingkan muka
aduhai, bagaimana aku mencukupkan menulis bagaimana
setelah ranting rapuh tak meninggalkan huruf di pasir basah
tempat kita menulis kisah


Banda Aceh, 8 Maret 2011

KAU DAN BURUNG KUNTARI

D Kemalawati

Lupakan burung kuntari yang dungu itu
kalau kau hanya bisa menulis sebaris puisi
dan sepotong prosa yang mati di ketiak pagi

diliris telapak tanganmu
terletak berbilah rencong
dan akan menjelma mata angin

selayaknya pagi yang kita undang
datang menjemput embun 
agar putik merekah sempurna
dan para peziarah tetap menabur bunga
di pusara ombak dan air mata
milik puak yang kau anggap celaka

ajak kunang-kunang malam
berkaum untukmu
di atas bukit tumbuh tabuhlah rapai
dan kau tak hanya sebatas rateb
tapi sebagai debus haram disentuh besi

Banda Aceh, 30 Juli 2008

Sabtu, 05 Maret 2011

DI LUAR AKAN SELALU HUJAN



D Kemalawati

aku tak menyangkal ada kamu dalam tiang 
yang tegak di luar mataku 
bersenandung satu lagu untuk setiap tiang yang kau huni 

kau selalu rapatkan tiang-tiang dalam bayangmu
yang enggan kujadikan pegangan 

di luar akan selalu hujan, itu larik lagumu 
yang selalu kukenang 

di dalam tiang kau bebas membeku 
menyatu batu tanpa air genangan

di luar akan selalu hujan,curahmu berulang
aku tak menyangkal
di tiang itu hijau lumut makin menyebar

Banda Aceh, 5 Maret 2011