D Kemalawati
Kutinggalkan simpang jam, taman Putro Phang,
Darul Isky dan Kandang sunyi
Kumasuki jalan Sultan Iskandar Muda
di sebelah kiri jalan replika kapal terdampar
mengajakku ke dalam
dari cerobong menjulang kutemukan kubah bawang
kulihat lidah api menyala-nyala, disana
wanita dari lampadang menerobos barisan
“Lihat sendiri” pekiknya.
”rumah Allah dibakar, sampai kapan kita menjadi budak Belanda”
Langit memerah , kubah menyala darah
Orang-orang datang seperti gelombang
Garang telah bersarang siap menyerang
Takbir menjadi genderang
syair prang sabil menjadi parang
Di sana Kohler bukan ditikam
Timah panas mendekam di badan
Lelaki tanpa nama menyandang senapan
melangkah ke selatan
dari atas sana, tataplah ke depan
Meurah Pupok sendirian di sudut taman
Kerkhoff Peucut disanding di dinding depan
nisan menjulang dua ribu dua ratus hitungan
dari jenderal berbintang hingga prajurit tawanan
berbaring tenang namanya dikenang
dari pesawat Seulawah RI 001 di Blang Padang
kulihat Teungku Daud Beureueh berjalan terpuruk
di belakangnya nyala api tak pernah padam
di tiang pancang di sebuah ruang sang proklamator tersedu sedan
di depan para saudagar hidangan tak tersentuh tangan
dalam remang cahaya bulan
diantara cemerlang bintang
Abu berujar tenang, emas berbungkal jadikan uang
Dakota terbang terbangkan seluruh angan
di Meuraksa, adakah yang paling hitam dari daulat alam
maka jangan tanya tubuh siapa terkubur paling dalam
nama siapa tertulis paling depan
nisan siapa dipajang paling panjang
maka kukatakan padamu wahai wanita dari Lampadang
mereka lah yang berbaring dalam kenangan
Banda Aceh, 10-01-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar